Aghilia Ummu Syahida(*  Hari ini, 6 tahun yang lalu
Pertama kalinya aku memandang sesuatu yang berbeda, bagaimana tidak? Aku yang terbiasa hidup di antara gedung – gedung tinggi dengan segala macam pelayanan yang serba ada, tak pernah peduli dengan segala macam kehidupan di bawah sana. Tapi hari ini aku memutuskan untuk melangkahkan kaki keluar, aku bosan.
Jalan kaki, itu opsi yang aku ambil, aku ingin benar – benar menikmati jalanan.  “Tap..” aku memandang satu wajah… Di bawah flyover, meringkuk beralas kardus bekas mie instan, tumpuk 2 berjajar 4. Aku memandang wajah yang tertidur pulas itu. Wajah sederhana. Berbeda dengan wajah – wajah yang selama ini aku jumpai di kehidupan atas gedung sana, tegang, panik, tergesa –gesa. Yah, meskipun kadang juga penuh canda dan tawa keras. “Ah, wajah itu, polos”
Kulanjutkan perjalananku, dan astaga! Baru saja aku menyimpan memori tentang wajah itu, aku menemuinya lagi, bertebaran di lampu – lampu trafficlight. Oh, tidaaak. Kenapa begitu banyak?
Wajah itu ada di mana - mana, bertebaran di seluruh kota, Wajah itu sederhana, tapi eksis di mana - mana, wajah itu pun aku menebak pasti juga  ada di seluruh dunia.
Belokan samping sebuah caffe sederhana, aku istirahat sebentar. Nafasku memburu. Antara lelah dan sedikit ketakutan. “Tidak..tidak mungkin!” aku berkata pada diriku sendiri sambil menggelengkan kepala dan meremas kertas Koran yang tercecer di bangku pinggir jalan.
“Permisi, boleh abdi duduk?”
“Oh, okay”
aku persilahkan seorang bapak tua yang kelihatan kelelahan duduk di sampingku, bapak itu membawa sebuah kantong plastic hitam. Aku diam saja melihat ekspresinya. “Tap, wajah itu lagi” Bapak itu tak sadar aku amati dengan begitu dalam, dia sibuk membolak – balik buntelannya yang entah aku tak tahu isinya apa.
"Ah..wajah itu menamparku berulang kali" begitu batinku tiap kali aku menelusuri tiap lekukan ekspresinya.

Setelah aku merasa lelahku pergi menjauh, aku melanjutkan jalan – jalanku lagi. Kali ini aku menyusuri tepi sungai besar, kepalaku mendadak jauh lebih berat dari sebelumnya. Aku sudah sangat lelah sekarang. Aku pun memutuskan untuk kembai ke apartementku. Meminum aspirin dan tidur.
“Hei, bangun… ada meeting sebentar lagi, dari mana saja kau? Bau sekali ini badanmu. Cepat ganti baju sana, nanti tukang laundry akan mengambil pakaian – pakaian kotormu.” Seperti biasa, Andi yang cerewet itu pasti nyelonong begitu saja masuk kamarku. Aku heran dengannya, kenapa dia begtu cerewet.
“Iya..iyaa..” Cuma itu saja jawabanku. Sore ini aku memang harus bertemu dengan bosku lagi, aku di minta mendampinginya mengoalkan sebuah proyek besar.
Ruang meeting highclass
“Tidak pak, tidak bias itu kita lakukan?” sanggahku
“Kenapa tidak? Ini akan sangat menguntungkan kita Dev!!!”
“But, sir.. mereka punya kehidupan dan saya tidak bias menghancurkannya”
“Listen to me Dev! Kamu setuju atau tidak ini akan tetap berjalan”
“Tapi pak, bulan kemarin bapak,”
“Diam kamu Dev, kamu tidak mengerti.”
“Oh..tidak mimpi buruk buatku” aku segera beranjak pergi meninggalkan ruang meeting.
“Gila.. ini gila.. menggusur tempat tinggal mereka??”
Malam ini mendadak menjadi malam yang membuatku tidak tenang. Dalam mata terpejam, aku seakan di seret memasuki sebuah film yang menyeramkan. Ribuan wajah – wajah sederhana itu, tiba – tiba menyeringai, “Tidaak.. mereka punya taring” wajah – wajah itu tertunduk pucat, tapi berjalan begitu cepat. Satu persatu rekan – rekan kerjaku diambil dan disimpan dalam karung – karung. Kulihat juga Pak Hans, bosku yang tadi sore memarahiku. Aku tak tahu harus bagaimana, aku berlari ke bawah flyover dan wajah yang kutemukan tadi pagi berubah seperti mereka, aku terpojok.. wajah – wajah itu mencoba mencakar wajahku.
“Aaaaaaaaaaa…….”
Bruuk.. aku terjatuh dari tempat tidurku. Aku mencoba bangun, kemudian merenungi semuanya. Jadi itu tadi adalah semua yang selama ini aku dengar dari pak Hans. Sebelum proyek ini terjadi, Pak Hans sering berkata padaku bahwa ia sering bertemu wajah – wajah polos yang membutuhkan bantuan. Ia juga yang memintaku mencairkan rekeningnya sebagian, untuk diberikan pada mereka.
“Mereka ini yang akan membawa kita kepada kebahagiaan Dev, mereka yang akan mendukung Ir. Saptoyo yang kolega bisnis Bapak untuk jadi gubernur di sini. Jadi kita harus memperhatikan mereka”
Masih aku mengingat percakapan sebulan lalu itu, tentang wajah polos.
Aku tersadar, Yah Wajah itu sering terlipat di benak kita, tapi tiba - tiba suatu ketika kita mencari - carinya untuk mencari muka, mencari nama dan kita bisa memandangi wajahnya yang begitu sederhana dengan mata serigala.
Dalam perjalananku kemarin, aku memang menyaksikan wajah ir. Saptoyo bersanding dengan wajah – wajah sederhana tadi, terlihat akrab. Begitu akrab. Tetapi...
Aku melihat jam dinding, masih pukul 11.00 malam
  aku menemukan wajah sederhana itu, wajahnya ada di dinding teman facebookku. Juga nampang di twitter temanku dan saat itu aku tertampar lagi, begitu juga tiga hari lalu, aku menemukan wajahnya tersenyum manis sekali, wajah itu menyapa lelaki yang berseragam polisi. Wajah itu sederhana tapi menyimpan beribu makna dan kali ini aku tak sekedar tertampar, senyumnya membuat sadar dan hatiku bergetar.
  "Argghh.. Astaghfirullah.."
  "Wajah itu memang ada di mana - mana, di telivisi, di dunia nyata, di dunia maya, dan suatu ketika ada di headline news koran ibukota. Wajah itu sederhana, lagi - lagi wajah sederhana!!!"
Namun, wajah itu, terkadang juga tersenyum sinis sambil menitipkan kata di gerak kakinya. "Hei kamu.. ya, kamu.. masih bisa tertawa melihatku? kurang apalagi hidupmu? Masih akan jadi kau jadikan dingklik lagikah aku?"
  Wajah itu keluar dari mulut - mulut pejabat tinggi negara juga rupanya dan lahir dari lidah manusia - manusia pemberi janji yang tiba - tiba membanjir. Lalu timbul tanya dalam hatiku, "Apakah mereka merasa tertampar sepertiku? ah, sepertinya tidak. Seharusnya mereka dihantui saja, dihantui wajah - wajah itu, wajah yang mereka angkat dan mereka injak sendiri"
Malam itu,  aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku, keluar dari kehidupanku. Dan memutuskan tinggal jauh dari kebosanan hidup yang membuatku tersiksa batin.
Hari ini, setelah 6 tahun berlalu
Aku memandang perkampungan di tengah kota itu sudah tidak ada, kawasan perumahan di gang belokan caffe sederhana itu juga sudah tidak ada. Yang tersisa hanya caffe itu dari semuannya, caffe yang sekarang berbaground sebuah mall raksasa. Akhirnya semuanya berakhir seperti apa yang pak Hans impikan, sebuah mall yang menggusur kehidupan wajah – wajah sederhana, taka da yang bias mencegahnya. Hari ini, setelah enam tahun, ir. Saptoyo memang sudah tidak lagi menjabat, tapi wajah itu, kini dengan berbagai polesan media dan backing para investor asing serta pemodal dalam negeri yang gila harta, wajah itu terpasang lagi di pinggir jalan dengan senyum terkembang dan sekali lagi, merangkul wajah – wajah sederhana dengan jargon serba baru!!! Aku muak, aku sudah tak lagi bisa lagi tertipu.
Wajah – wajah sederhana itu terputar lagi di memoriku, wajah – wajah dengan taring – taring tersembunyi, mencoba memburu wajah – wajah serigala.
“Tap” tak sengaja wajahku beradu pandang dengan wajah itu lagi.. Kini tak hanya seorang, enam orang tertidur pulas di bawah flyover itu.
)* Adik pertamaku


Post a Comment