Dam Bagong Trenggalek

Suku Jawa seringkali menggunakan simbol, lambang, dan perumpamaan dalam mengisahkan sejarah maupun dalam menyampaikan nasihat. Sejarah sebagai kisah asli yang terjadi secara nyata seringkali menjadi legenda yang mistis, penuh mitos dan takhayul yang seringkali kisahnya ndak masuk akal. Pada tulisan kali ini saya akan menuliskan cerita tentang sejarah Minak Sopal sebagai kisah nyata berdasarkan legendanya yang dikisahkan secara turun menurun.

Pertama kali saya mendengar cerita sejarah Minak Sopal dari Bapak saya. Beliau menceritakan arti dari perlambangan-perlambangan dalam legenda Minak Sopal. Waktu itu pernah saya tanya "Dapat kisah itu dari mana Pak?". Bapak saya bilang kalau beliau pernah membaca ulasannya di majalah "Penjebar Semangat" sekitar tahun 70an yang ditulis oleh Pak Suhadi Tukang Cukur, penyiar Radio Mahameru Kediri, sayangnya Bapak saya tidak ingat edisi majalahnya.

Dulu sebenernya saya pengen nulis ini, tapi lupa dan ndak sempet menjadi alasan untuk menunda :D . Hari ini ketika searching di internet, tidak sengaja nemu tulisannya mbak Palupi, mahasiswi Universitas Negeri Malang yang bisa diakses di http://palupicahnggalek.blogspot.co.id . Di situs tersebut diceritakan sejarah Menak Sopal berdasarkan tulisan dari Abdul Hamid Wilis sejarawan asli Trenggalek.

Pada tulisan tersebut dijelaskan perlambangan-perlambangan dalam legenda Minak Sopal. Namun ada beberapa bagian yang masih belum terang seperti perlambangan bau amis dari Roro Amis dan sedikit perbedaan pengartian pada penyembuhannya. Oleh karen itu di sini akan saya mix kisah sejarah dari dua sumber tersebut agar lebih lengkap dan dapat memberikan "alternatif" pengetahuan tentang legenda Minak Sopal.

Asal Usul Menak Sopal

Menurut hikayat, ada seorang dari Mataram yang ditugaskan untuk mengatur daerah di timur Ponorogo yang bernama Ki Ageng Galek. Mataram di kisah ini bukan Mataram kerajaan Islam, akan tetapi Mataram yang merupakan daerah kekuasaan Majapahit. Hal ini dibuktikan dari Kitab Negara Kertagama pupuh VI bait 3, yang menyebutkan antara lain:

..... Haji raja ratw ing Mataram lwir Yang Kumara nurun ..... dalam bahasa Indonesia ..... Raja di Mataram laksana Dewa Kumara datang di bumi ..... (lihat Prof. Dr. Slamet Mulyana Nagarakretagama dan tafsir sejarahnya, Bhatara, Jakarta, 1979, halaman 276)

Pada masa Islam masuk ke Indonesia, suatu ketika datanglah seorang da'i muda yang mengajarkan Islam bernama Minak Sraba. Ketika di Trenggalek, Minak Sraba membangun sebuah perguruan (pondok) di daerah Bagong. Pada waktu yang bersamaan datang juga Dewi Amiswati yang merupakan seorang putri dari Kerajaan Majapahit yang dititipkan ke Ki Ageng Galek. 

Nama asli dari Dewi Amiswati tidak diketahui, tetapi dijuluki Amiswati karena mempunyai penyakit yaitu tubuhnya berbau amis atau busuk. Tubuh yang berbau busuk di sini sebagai perlambang akhlaq atau watak yang buruk. Karena penyakit tersebut sulit disembuhkan, dibuatlah sayembara untuk siapa saja yang bisa menyembuhkan penyakit Dewi Amiswati jika wanita akan dijadikan saudara dan jika laki-laki akan dijadikan suami.

Kabar tersebut kemudian terdengar oleh buaya putih di Kedung Bagong. Buaya putih yang dimaksud adalah Minak Sraba. Disebut buaya karena keberadaannya sebagai penyebar ajaran Islam merupakan sebuah bahaya bagi masyarakat yang waktu itu beragama hindu-budha. Putih sebagai perlambang orang suci dimana kata Minak sendiri merupakan sebutan bagi golongan priyayi atau bangsawan. Kedung sebagai lambang kedalaman yang berarti bahwa Minak Sraba merupakan ulama Islam yang berasal dari pedalaman Bagong.

Buaya putih tersebut kemudian berubah menjadi manusia yang tampan dan menyembuhkan penyakit bau badan Dewi Amiswati dengan cara menjilati kakinya. Buaya yang berubah menjadi manusia sebagai lambang bahwa ketika Minak Sabra mengikuti sayembara, Minak Sraba menyamar sebagai rakyat biasa yang seolah-olah beragama hindu bukan sebagai ulama. Penyembuhan bau badan dengan cara menjilati kaki sebagai perlambang bahwa Minak Sraba menyembuhkan akhlaq Dewi Amiswati dengan lidah atau lisannya yaitu perkataan dan nasihat-nasihat. Kaki sebagai anggota tubuh yang berfungsi untuk berjalan atau melangkah merupakan bagian yang dijilat adalah lambang bahwa nasihat-nasihat Minak Sabra adalah tentang jalan hidup, cara menjalani hidup dengan baik.

Jelmaan buaya putih yang berwujud manusia tersebut lalu dinikahkan dengan Dewi Amiswati karena berhasil menyembuhkan penyakitnya. Ketika menjadi suami Dewi Amiswati, Minak Sabra memberikan pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar. Pantangannya antara lain, Dewi Amiswati tidak diperkenankan membuka penutup buah dadanya (bahasa jawa: mekak) dan ikat pinggang kain panjangnya (bahasa jawa: bengkung) pada waktu matahari tenggelam. 

Namun suatu hari pantangan tersebut dilanggar. Akibatnya, ketika masuk ke dalam rumah Dewi Amiswati menemukan buaya putih yang bisa berbicara dan dia pun tahu kalau suaminya adalah buaya putih. Dari cerita tersebut Dewi Amiswati dilarang untuk bertelanjang bulat ketika maghrib. Ketika hal tersebut dilanggar yang maksudnya adalah Dewi Amiswati bertelanjang dan masuk ke dalam ruang tempat Minak Sabra yang sedang sholat Maghrib dan bertafakur kepada Allah sehingga Dewi Amiswati tahu bahwa Minak Sabra sebenarnya beragama Islam (dalam hikayat diceritakan bahwa Minak Sraba kembali berwujud buaya putih). Untuk menghindari kericuhan dalam keluarga Ki Ageng Galek karena dirinya telah diketahui beragama Islam, Minak Sabra memutuskan untuk kembali ke Bagong.

Beberapa waktu sepeninggal Minak Sraba, Dewi Amiswati melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Minak Sopal. Minak Sopal meminta keterangan kepada ibunya tentang siapa sebenarnya ayahnya ketika ia sudah beranjak remaja. Dewi Amiswati dengan terpaksa menceritakan kepada anaknya bahwa ayahnya adalah buaya putih yang tinggal di Kedung Bagong. Mendengar cerita dari ibunya, Minak Sopal kemudian meminta ijin untuk mencari dan menemui ayahnya. Setelah bertemu dengan ayahnya, Minak Sopal dididik dan diberi pelajaran agama Islam. Minak Sopal kemudian tumbuh menjadi seorang pemuda muslim. 

Menurut cerita Bapak saya yang dikutipnya dari artikel di majalah Penjebar Semangat nama Sopal berasal dari bahasa arab, yaitu kata asfala yang berarti turun atau rendah sebagai simbol bahwa meskipun dia keturunan dari bangsawan tetapi Minak Sopal hidup sederhana dan merakyat. Sebagai seorang Muslim, Minak Sopal kemudian berfikir untuk mendakwahkan Islam dan mengajak masyarakat untuk memeluk agama Islam. 

Menak Sopal dan Dakwah Islam di Trenggalek 

Sebagaimana para wali dan da'i jaman dahulu, Menak Sopal mendakwahkan Islam melalui pendekatan memberikan solusi-solusi pada permasalahan masyarakat sehingga mereka tertarik untuk mempelajari Islam. Pada waktu itu, rakyat Trenggalek banyak yang bekerja sebagai petani yang daerahnya sering kesulitan air. Untuk menarik hati rakyatnya agar mudah didakwahi, Minak Sopal berinisiatif untuk membangun bendungan agar pertanian daerahnya tidak kekurangan air sehingga rakyatnya dapat bertani dengan baik dan hidup sejahtera. 

Namun, usaha Minak Sopal dalam membangun bendungan selalu gagal. Minak Sopal meminta petunjuk ayahnya untuk mengatasi masalah tersebut dan diberitahu bahwa bendungan akan dapat terwujud dengan cara ditumbali dengan kepala gajah putih. Untuk itu Menak Sopal mengirimkan utusannya ke tempat Randa Krandon (janda yang bertempat tinggal di Krandon, kecamatan Karangan) yang mempunyai gajah putih. Janda Krandon tidak keberatan untuk meminjamkan gajah putihnya asal setelah selesai tugasnya dalam membantu pembuatan bendungan hendaklah segera dikembalikan ke Krandon. Utusan Menak Sopal menyanggupinya. Akhirnya gajah putih dibawa ke Trenggalek dan di dekat Sungai Bagong gajah putih disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan kepada rakyat yang bekerja untuk membuat Bendungan Bagong, sedangkan kepalanya dijadikan tumbal disitu. 

Ketika sudah ditumbali dengan kepala gajah putih, maka bendungan itu dapat diwujudkan. Air mulai mengairi sawah-sawah dan dapat diatur guna keperluan sehari-hari penduduk Trenggalek. Rakyat Trenggalek bersuka ria karena sawahnya dapat ditanami padi dua kali dalam setahun, padahal dulu hanya merupakan sawah tadah hujan saja. Hasil pertanian kian melimpah ruah menambah kesenangan hidup para petani. Dari tindakan Menak Sopal inilah rakyat Trenggalek mau memeluk Agama Islam.   

Dalam kisah tersebut, gajah merupakan perlambang agama hindu (dewa ganesa) dan budha (gajah putih adalah lambang Negara Muangthai yang memeluk agama buddha) sedangkan putih sebagai lambang kesucian agama. Penumbalan kepala gajah putih merupakan perlambang bahwa dakwah Minak Sopal dilakukan kepada para pemuka agama hindu-budha sehingga mereka bisa diajak bekerja sama untuk membangun bendungan. Kemudian daging gajah yang dibagi-bagikan kepada masyarakat sebagai lambang bahwa masyarakat akhirnya meninggalkan agama hindu-budha dan bahagia memeluk agama Islam. Dengan berhasilnya pembangunan bendungan dan meningkatnya hasil pertanian, Minak Sopal dikenal sebagai Bapak Pertanian Trenggalek.

Janda Krandon yang lama menanti gajah putihnya, akhirnya mengirimkan tentaranya untuk meminta kembali gajah putihnya karena sudah lama tidak dikembalikan. Untuk menghindari pertumpahan darah di daerah Trenggalek, maka Menak Sopal minta pertolongan ayahnya dan bersama-sama membuat terowongan di dalam tanah yang oleh rakyat sekitar biasa disebut gangsiran dari daerah Trenggalek ke rawa Ngembel. Terowongan atau gangsiran melambangkan bahwa Minak Sopal dan Minak Sabra menyebarkan Islam secara diam-diam. Janda Krandon dan tentaranya mengamati gerak gerik Minak Sopal dan tentaranya dari puncak gunung. Karena terlalu lama menunggu, tangkai tombak-tombak tentaranya sampai lapuk menjadi bubuk yang akhirnya daerah itu diberi nama Gunung Bubuk. Sehubungan dengan itu janda Krandon terpaksa membatalkan kehendaknya untuk menyerang daerah Trenggalek.

Tombak-tombak prajurit Janda Krandon yang tangkainya hancur menjadi bubuk (tombak harus mempunyai tangkai, bila tidak bertangkai maka tombak tidak dapat dipergunakan lagi. Dengan kata lain tidak berfungsi lagi) merupakan perlambang bahwa pimpinan-pimpinan hindu saat itu sudah tidak dapat menguasai rakyatnya karena dakwah yang dilakukan Minak Sopal secara diam-diam membuat masyarakat memeluk agama Islam. Pemimpin-pemimpin hindu akhirnya tidak dapat merebut kembali kekuasaannya. Pemimpin mereka yang merupakan seorang Janda adalah wanita yang tanpa suami adalah perlambang bahwa  pemimpin umat Hindu Buddha di daerah itu sudah kehilangan pelindungnya. Kehilangan pelindung karena Majapahit telah runtuh dan digantikan oleh Kesultanan Islam Demak Bintoro.

Demikianlah kisah sejarah Minak Sopal sebagai da'i yang mendakwahkan Islam di Trenggalek sehingga mayoritas rakyat Trenggalek memeluk agama Islam. Kuil, pura, dan Candi berubah menjadi masjid-masjid dan pesantren. Keberhasilan Minak Sopal ini membuatnya dikenang dan menjadi cerita turun-temurun walaupun dalam perjalanannya cerita tentang Minak Sopal kemudian menjadi cerita legenda yang dibumbui mitos-mitos sebagai perlambangan. Semoga tulisan ini dapat memberikan informasi pembanding yang lebih "masuk akal" daripada kisah legenda Minak Sopal yang penuh mitos yang banyak beredar di masyarakat. [ibrahimaghil.com]

1 Komentar

  1. terima kasih atas pemaparannya, cukup logis dan mencerahkan bagi kita..

    BalasHapus

Posting Komentar