I. Pendahuluan
Mungkin terlintas dalam benak kita, apakah masih perlu berbicara tentang Allah? Bukankah kita sudah sering mendengar dan menyebut asma-Nya. Bukankah kita sudah tahu bahwa Allah adalah Tuhan kita. Tidakkah itu sudah cukup? Ketahuilah, perasaan merasa cukup inilah yang menghalangi kita untuk menambah dan memperkaya wawasan kita tentang pemahaman dan pengenalan terhadap pencipta kita, Allah SWT.
Sesungguhnya semakin dalam dan sering kita memahami untuk mengenal Allah maka kita akan semakin merasa dekat dengan-Nya. Semakin dekat perasaan kita kepada Allah, semakin tenang jiwa kita. Sebagaimana yang termaktub dalam Al Qur’anul Karim dalam Surat Ar Ra’du (13) : 38.
Ketika kita berbicara tentang Allah, kita tidak hanya membahas Allah sebagai Rabb (Pencipta) namun kita juga membahas bahwa Allah sebagai Malik dan Ilah. Secara definitif dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Malik memiliki makna pemilik, pemelihara dan penguasa. Ilah memiliki makna sebagai Yang paling dicintai, Yang paling ditakuti dan Yang menjadi sumber pengharapan.
Allah SWT sebagai pencipta lebih mudah dipahami dibandingkan memahami Allah sebagai Malik dan Ilah. Hal ini disebabkan karena memahami Allah sebagai Malik memiliki berbagai konsekuensi diantaranya konsekuensi pengabdian melaksanakan perintah-Nya, konsekuensi menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang paling dicintai, konsekuensi menjadikan Allah sebagai satu-satunya penguasa diri, dan sebagainya. Konsekuensi inilah yang biasanya menjadi kendala bagi kita untuk memahami Allah secara menyeluruh.
Dalam memahami dan mengenal Allah, kita sebaiknya berkeyakinan bahwa Allah sumber ilmu dan pengetahuan. Ilmu-ilmu tersebut berfungsi sebagai pedoman hidup. Dan sebagai sarana hidup. Dengan keyakinan itu maka kita akan lebih mudah untuk memahami Allah dan juga memiliki kepribadian yang merdeka dan bebas, karena kita hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya penguasa diri kita, seluruh makhluk bagi kita memiliki posisi yang sama. Sama-sama hamba Allah jadi kita tidak akan takut kepada selain Allah.
II. Makna Mengenal Allah
Ma’rifatullah adalah bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu Ma’rifah dan Allah. Ma’rifah berarti mengetahui, mengenal. Mengenal Allah yang diajarkan kepada manusia adalah mengenal melalui hasil penciptaannya bukan melalui zat Allah. Karena akal kita memiliki keterbatasan untuk memahami seluruh ilmu yang ada di dunia ini, apalagi zat Allah.
III. Pentingnya Mengenal Allah
a. Ma’rifatullah merupakan ilmu tertinggi yang harus dipahami manusia. Hakikat ilmu adalah memberikan keyakinan kepada yang mendalaminya. Ma’rifatullah adalah ilmu tertinggi sebab jika dipahami memberikan keyakinan yang dalam. Memahami Ma’rifatullah juga akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan kepada cahaya yang terang yaitu keimanan. (QS. Luqman (31) : 18).
b. Seseorang yang mengenal Allah pasti akan tahu tujuan hidupnya.(QS. Adz Dzariyat (51) : 56)
c. Berilmu dengan ma’rifatullah sangat penting karena berhubungn dengan manfaat yang diperolehnya yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, dengan kedua hal tersebut akan memperoleh keberuntungan dan kebahagiaan yang hakiki.
IV. Jalan Untuk Mengenal Allah
a. 1. Lewat akal dan Fitrah:
• Ayat Kauniyah / ayat Allah di alam ini:
- fenomena terjadinya alam (52:35)
- fenomena kehendak yang tinggi(67:3)
- fenomena kehidupan (24:45)
- fenomena petunjuk dan ilham (20:50)
- fenomena pengabulan doa (6:63)
• Ayat Qur’aniyah/ayat Allah di dalam Al-Qur’an:
- keindahan Al-Qur’ an (2:23)
- pemberitahuan tentang umat yang lampau [9:70]
- pemberitahuan tentang kejadian yang akan datang (30:1-3, 8:7, 24:55)

b. Pendengaran dan penglihatan
c. Alam semesta
d. Manusia dan Hewan
e. Pengenalan dan jiwa
f. Mu’jizat
g. Melalui Asmaul Husna (QS. Al Mu’minun (40) : 62, QS. Al Baqarah (2) : 284)
V. Hasil Mengenal Allah
Hasil dari mengenal Allah adalah peningkatan iman dan taqwa sehingga muncul beberapa hal di bawah ini:
a. Kebebasan
Dengan mengenal Allah kiat menjadi manusia yang bebas, tidak menjadi budak sesama makhluk dan tidak juga menyembah apapun kecuali Allah SWT yang memang berhak untuk disembah. (QS. Al An’am (6) : 82)
b. Memberi ketenangan. QS. Ar Ra’du (13) : 28
c. Keberkahan. QS Al A’raf (7) : 96
d. Kehidupan yang baik. QS. An Nahl (16) : 97
e. Syurga. QS. Yunus (10) : 25-26
f. Keridhaan Allah (Mardhatillah). QS. Al Bayyinah (98) : 8
VI. Hal-hal yang Menghalangi Mengenal Allah
a. Kesombongan. QS. An Nahl (16) : 22, Al Mu’min (40) : 35
b. Dzalim. QS. As Shaff (61) : 7
c. Tidak berpengetahuan. QS. Az Zumar (39) : 65-66
d. Dusta. QS. Al Baqarah (2) : 10, Al Mursalat (77) : 19
e. Menyimpang. QS. Al Maidah (5) : 13
f. Berbuat kerusakan/fasad. QS. Al Hasyr (59) : 19
g. Lalai. QS. Al A’raf (7) : 179
h. Banyak berbuat maksiat. QS. Al Muthaffifiin (83) : 14
i. Ragu-ragu. QS. An Nur (24) : 50
Semua sifat di atas merupakan bibit kekafiran kepada Allah yang harus dibersihkan dari hati dan pemahaman. Kekafiran yang menyebabkan Allah mengunci hati, menutup mata dan telinga manusia serta menyiksa mereka di neraka akibat perbuatan mereka.
Referensi :
1. Allah Jalla Jalalahu, Said Hawa
2. Ma’rifatullah, DR. Irwan Prayitno
3. Petunjuk Jalan, Sayyid Quthb
4. Tadzkiyatun Nafs, Said Hawwa
5. Aqidah Seorang Muslim, Al Umma

Post a Comment