Oleh : Anis Matta

Lelaki parlente itu tidak hanya dikenal sangat tampan yang ketampanannya bahkan mengalahkan kecantikan wanita paling cantik. Ia juga lelaki paling berkuasa dan paling disegani dimuka bumi ketika itu. Lelaki itu adalah khalifah pertama sekaligus pendiri khilafah Bani Umayyah. Di ibu kota khilafahnya, Damaskus, ia membangun sebuah istana megah. Ia punya selera. Semua yang dimiliki adalah mimpi-mimpi wanita. Namun itu lantas menjadi ironi: kali ini cinta tersedak. Ia tergila-gila pada seorang gadis badui yang cantik dan innocent. Ia menikahinya. Lalu memboyongnya tinggal di istananya. Tapi ia gagal menerbitkan bahwa sebersitpun cinta dalam hati sang istri. Ketampanan, kemewahan dan kekuasaan Muawiyah tidak cukup memadai membangkitkan cinta dalam jiwanya. Setiap langkah kakinya menderap di sudut-sudut istana ingatannya malah kembali ke dusunnya. Sebab disana ada seorang pemuda badui yang terus merindukannya.

Pada suatu malam yang sunyi, ketika purnama menghias langit malam, kesabarannya berakhir. Rindunya meledak dalam bait-bait syair yang ia senandungkan. Sayup-sayup sang Muawiyah mendengarnya. Ia terhenyak. Ia tahu bait-bait itu adalah deklarasi: aku tidak mencintaimu, aku tidak bisa mencintaimu, aku ingin pulang, aku ingin menikah dengan kekasihku! Muawiyah tersadar. Kekuasaan memungkinkan dia menikahi gadis badui itu dengan mudah. Tapi kekuasaan tidak membantunya merebut cintanya. Gadis innocent itu adalah perempuan merdeka. Ia memilih untuk meninggalkan istana Muawiyah yang megah hanya untuk hidup bersama seorang pemuda dusun yang teramat sederhana. Dengan berat hati akhirnya Muawiyah menceraikan sang istri, seorang gadis lugu yang telah membuatnya tergila-gila.

Cinta secara umum adalah emosi kebajikan yang meledakkan semangat memberi dalam jiwa kita. Itu sebabnya kita selalu menjadi lebih baik ketika kita sedang jatuh cinta. Tapi ketika cinta dihadapkan pada objeknya, khususnya cinta antara laki-laki dan wanita, emosi kebajikan itu tetaplah emosi kebajikan, tapi dengan chemistry yang sangat unik. Dua emosi kebajikan belum tentu bisa bertaut secara kimiawi dengan mudah. Jauh sebelum cinta menjelma menjadi pertemuan dua fisik, ia terlebih dahulu bertaut di alam jiwa. Jika ada pertemuan fisik yang tidak di dahului oleh pertemuan jiwa itu bukanlah cinta. Maka sepasang laki-laki dan wanita bisa melakukan hubungan seks tanpa cinta. Sebagai manusia jiwa kita memiliki tabiat kimiawi yang sangat unik. Dan bisa ditebak. Seorang perempuan lembut bisa jadi mencintai seorang laki-laki kasar, karena kelembutan dan kekasaran adalah dua kutub jiwa yang bisa bertemu seperti air dan api: saling tergantung dan saling menggenapkan.

Tapi keunikan jiwa itu sama sekali tidak mengurangi kadar kebenaran dan fakta bahwa cinta sebagai emosi kebajikan tetaplah harus mengejawantah pada semangat memberi, dan bahwa nilai kita di mata orang yang kita cintai tetaplah terletak pada kadar manfaat yang kita berikan padanya. Dan jika pada suatu hubungan cinta tidak memberi sesuatu pada orang yang kita cintai, sementara hubungan itu tetap berlanjut, bahkan langgeng, percayalah, itu semata-mata karena kesabaran sang kekasih menyaksikan pencintanya mengkonsumsi kebajikannya setiap saat, atas nama cinta. Yang satu memberi atas nama cinta, yang lainnya menerima atas nama cinta. Ironis memang. Tapi faktanya ada. Bahkan mungkin banyak beredar di sekitar kita.

Post a Comment